(Moon
Changgil, “Oh, Hari Itu”)
Judul Buku: Apa yang
Diharapkan Rel Kereta Api
Penulis: Moon
Changgil
Penerjemah: Kim Young
Soo & Nenden Lilis Aisyah
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia), Desember 2021
Tebal: x + 116 hlm.
ISBN: 978-602-481-615-5
Saat egoisme dan keserakahan menjadi
satu, maka untuk mendapatkan yang diinginkan tak jarang dilalui dengan berbagai
cara, tanpa mempertimbangkan konsekuensinya dengan matang. Ekspansi yang
terjadi di Korea dan perpecahan yang akhirnya melanda, melahirkan banyak
penderitaan. Bukan hanya bumi yang dipijaknya yang berduka karena terus
ditetesi darah perjuangan dan perlawanan, melainkan juga penderitaan manusia yang
terus meneteskan peluh dan air mata.
Ekspansi
Jepang yang terjadi di Korea (1910-1945) membuat banyak manusia menderita.
Ditambah dengan perang saudara (Perang antara Korea Utara dan Korea Selatan
tahun 1950-1953), tentu semakin menambah duka dan derita rakyat Korea pada masa
itu.
Dalam
buku kumpulan puisi berjudul Apa yang Diharapkan Rel
Kereta Api, terekam beragam kisah duka, lara, dan derita. Tertulis
sebanyak 58 puisi dan dirangkum menjadi 4 bagian, yakni Rangkuman 1, Rangkuman
2, Rangkuman 3, dan Rangkuman 4.
Dalam penggalan puisi
pada muka tulisan ini, dikisahkan seorang ibu yang bekerja usai melahirkan.
Namun, dengan sadisnya, Tentara Yankee (sebutan untuk tentara Amerika)
membunuhnya dengan menusuk pangkal paha dan membelah payudaranya yang
membengkak akibat aliran darah yang meningkat dan perubahan hormon saat hamil.
Pada hari itu Ibu melahirkan adik perempuanku yang
mungil
dan terus bekerja di sawah dan
ladang
dengan payudara yang bengkak.
Tentara Yankee dengan pedang
pendeknya menusuk pangkal paha
dan membelah payudara Ibu.
Oh, Ibuku.
(Moon Changgil, “Oh, Hari Itu”).
Puisi di atas
mengekspresikan kekejaman tentara Amerika yang tak berperikemanusiaan, membunuh
seorang perempuan yang tengah bekerja usai melahirkan. Pada bait pertama puisi
tersebut juga ditunjukkan ekspresi sang anak yang kecewa dan menderita. Puisi-puisi
serupa yakni “Gadis Geumchon 1” dan “Gadis Geumchon 2” yang mengekspresikan
penderitaan para gadis-gadis Geumchon saat dipaksa menjadi budak nafsu para
tentara Yankee.
Wahai orang-orang dari negeri raksasa
yang punya barang besar
demi
memuaskan bagian bawah kalian
tubuh
ini membusuk
(Moon
Changgil, “Gadis Geumcon 2”).
Selain menuliskan puisi
yang penuh dengan kekelaman dan kesuraman, Moon Changgil juga menuliskan puisi
penuh harapan. Dalam puisi “Anak Perempuan yang Cerah”, harapan lahir dari
seorang ayah yang bekerja sebagai buruh harian Gilyong.
Menatap
punggung rapuh istri
sewaktu
pergi ke pabrik dini hari
harapan
samar-samar bagai berdenting
dalam
kepalan tangan mungil anak perempuan lima tahun
yang
berjalan terburu-buru di belakang ibunya.
(Moon
Changgil, “Anak Perempuan yang Cerah”).
Selain puisi-puisi di
atas, terdapat pula puisi menyentuh tentang sebuah cinta yang tulus di tengah
kerasnya kehidupan, yakni “Rasa Cinta Tuan Kim”.
Seiring
berlangsungnya konstruksi gedung
otot
bahuku semakin kuat dan tegap
dan
cinta kasih Nona Yang, yang semerah
batu
bata
memegang
lenganku.
Aku
akan mencintaimu,
(Moon Changgil, “Rasa
Cinta Tuan Kim”).
Pada penggalan puisi di
atas, penyair mengekspresikan perasaan cinta seorang buruh bangunan yang bersemangat
dan penuh harap dalam melaksanakan pekerjaannya karena Nona Yang ada di
sampingnya dan mencintainya. Dalam puisi ini, penyair memberi kehangatan lewat
diksi sederhana tentang makna sebuah cinta.
Puisi-puisi Moon
Changgil dalam buku Apa yang Diharapkan Rel Kereta
Api didominasi oleh tema-tema sosial,
politik, dan sejarah. Tak heran puisi-puisi bertema buruh terdapat dalam buku
ini karena Moon Changgil pernah bergabung di Komunitas Sastra dan Buruh pada
tahun 1984-1991. Selain itu, penyair yang dikategorikan sebagai angkatan 80’an
di Korea ini pernah bergabung di Bagian Sastra Persatuan Pemuda Perusahaan
Demokratisasi pada 1984-1990. Atas latar belakang tersebut, penyair kian mantap
mencurahkan gagasan dan imajinasinya dalam puisi bertema politik dan sosial.
Buku kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api selain bisa
menghibur para pembaca, juga memperluas wawasan masyarakat tentang kehidupan
masa lalu di Korea, memahami budayanya, dan melahirkan kepekaan sosial lewat
larik-larik yang menyentuh dan emosional.
Dengan diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, secara tidak langsung upaya tersebut mengembangkan
sastra dua negara, yakni Korea dan Indonesia. Selain itu, upaya tersebut juga
mengindikasikan bahwa sastra kian berkembang dan dekat dengan masyarakat.
Semula, masyarakat di Indonesia didominasi oleh demam K-Pop, serial TV, dan
gaya hidup. Namun, sejak beberapa tahun silam, sastra Korea banyak digemari
oleh para penikmat sastra di Indonesia, baik lewat karya fiksi prosa maupun
puisi. Hal tersebut menyebabkan banyaknya sastra Korea yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
Dalam buku ini,
puisi-puisi berbahasa Korea yang diterjemahkan oleh Nenden Lilis Aisyah dan Kim
Young Soo tidak menghilangkan unsur estetik dari sastra aslinya. Dengan
penyesuaian diksi dan budaya, puisi-puisi tersebut membuat pembaca mampu
merasakan perasaan penyair dan larut dalam bait-bait puisinya. Hal ini didukung
oleh latar belakang para penerjemah. Nenden Lilis merupakan seorang dosen
sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia dan karya-karya kanonnya
banyak diterbitkan di berbagai media. Kim Young Soo, pria asal Seoul, Korea
Selatan, menempuh pendidikan S1-S3 di HUFS, dengan jurusan Bahasa
Malay-Indonesia, Kesusastraan Modern Indonesia, dan Sastra Bandingan. Atas
berbagai studinya tentang bahasa dan sastra Indonesia, Kim Young Soo mampu
berkolaborasi dengan apik dan epik bersama dengan Nenden Lilis Aisyah dalam
menerjemahkan kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel
Kereta Api ini.
Kolaborasi epik dari
kedua sastrawan dan penerjemah terlihat dalam puisi-puisi liris yang meskipun
terjemahan tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai
sastranya, seperti dalam puisi “Kembang Unifikasi”, “Di Maehyang Ri”, “Kepada
Dia”, “Bayangan”, “Dalam Gelap”, dan lain-lain.
Sesuatu hidup terapung dan berkibar-kibar di
bawah langit negeri timur semua hal terlihat seperti noda dalam kabut dalam
hutan terbangun dari tidur mencari sesuatu dalam tanah yaitu penantian dalam
kebisuan setelah melewati jalan setapak yang
berbunga dan menyeberangi sungai apa pun yang ada dalam genggaman bayangan
semerbak menjadi kupu-kupu bercorak harimau yang terbang mengepakkan angin
putih yang seharum bunga lalu memeluk alam semesta.
(Moon Changgil, “Dalam Gelap”).
Buku
kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api
layak untuk dibaca semua khalayak, baik oleh penikmat sastra, akademisi, maupun
oleh pembaca umum. Namun, buku ini memiliki batasan usia, yakni 15+ sehingga
pembaca yang berada di bawah umur tersebut disarankan untuk tidak membacanya dahulu
(NERIFY).
Waw detail sekali����
BalasHapus