Si Sukmaranti mah da kurung batok, ditanya belah mana pasar nu paling deket teu nyaho (Si Sukmaranti mah kurung batok, ditanya dimana pasar terdekat tidak tahu).
Kalimat
di atas menggunakan pribahasa Sunda, yakni kurung batok yang berarti
tidak mau keluar dari kampungnya (tempat tinggalnya) sehingga dia kuper (kurang
pergaulan) dan kudet (kurang update). Generasi muda zaman
sekarang atau dikenal “Zaman Milenial” agaknya asing dengan penggunaan
pribahasa. Bahkan, bisa jadi mereka tidak tahu arti dari pribahasa. Dikutip
dari laman indonesiabaik.id (28/11/21), pribahasa menjadi salah satu
upaya untuk mengekspresikan niat dan perasaan secara tersirat atau secara tidak
langsung. Mungkin istilahnya ngode tapi dengan lebih berkelas, yakni
dengan sastra. Masih banyak masyarakat yang belum sadar bahwa dalam kehidupannya
sehari-hari sering menggunakan ungkapan atau pribahasa. Sehingga, sebenarnya
mereka sudah bersentuhan langsung dengan pribahasa tapi saat ditanya arti dari
pribahasa mungkin sebagian dari mereka akan geleng-geleng kepala.
Salah
seorang sastrawan produktif yang berusaha melestarikan pribahasa yakni Ari
Kpin. Lelaki
yang bernama lengkap Yari Jomantara ini berasal dari Garut. Ia tergabung dalam komunitas Jamuga. Bakatnya tidak
diragukan lagi di bidang seni, sastra, perfilman, dan musik. Ia menekuni musik
sejak SMP dan berkembang setelah duduk di Jurusan Sendratasik Program Seni
Musik IKIP Bandung (kini UPI). Banyak pentas pertunjukkan, baik pertunjukkan dalam bidang musik itu
sendiri, sastra, drama, tari, maupun kolaborasi-kolaborasi seni, yang sudah
diikuti. Selain itu, Ari juga menekuni bidang musik orkestra –ia adalah anggota/pemain
Indonesian Philharmonic Orchestra dengan conductor
Yazeed Djamin (alm.)--, menjadi juri berbagai lomba dalam bidang musik dan
sastra, menjadi konsultan penyelenggaraan even-even musik, sambil terus menulis
dalam bidang musik dan sastra. Karya-karya berupa lagu, ilustrasi musik teater,
ilustrasi musik tari, dan aransemen paduan suara, telah banyak dihasilkan,
antara lain mencipta lagu Mars dan Hymne Politeknik Negeri Bandung, Tridaya,
dan lembaga-lembaga lainnya.
Dalam dunia pendidikan, Ari Kpin memiliki berbagai
pengalaman mengajar di jenjang pendidikan formal. Mulai dari tingkat Sekolah
Dasar hingga Perguruan Tinggi. Ari Kpin sering diundang menjadi dosen tamu di
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI Bandung untuk mata
kuliah Pergelaran Sastra, Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP UPI
Bandung, IKIP Siliwangi Bandung, dan di STIKOM Bandung. Selain itu, di Bandung
ia mendirikan Sanggar Ari Kpin yang membina siswa, mahasiswa, dan masyarakat
umum di bidang kepenulisan, musik, dan sastra.
Ari Kpin juga banyak menulis puisi. Dalam antologi ”Percakapan di Beranda Angin” puisi-puisinya ’dirumahkan’ dan musikalisasinya diteliti sebagai disertasi pada program doktor UGM. Tulisan-tulisannya baik berupa essai, puisi, cerpen, dan naskah drama dimuat di berbagai media, di antaranya di Majalah Pusat terbitan pertama, dalam RUMAH PERADABAN, Bunga Rampai Puisi, Cerpen & Esai Silaturrahim Sastrawan Indonesia 2014 (Penerbit Padasan, cetakan pertama Agustus 2015). Ia juga menjadi salah seorang sastrawan yang diundang ke berbagai kota di Indonesia dalam program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (Program Kemendibud RI) dan menjadi instruktur pelatihan-pelatihan sastra di berbagai kota dan jenjang, salah satunya diklat Membaca Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) yang diikuti guru-guru pada tingkat nasional.
Lewat bukunya yang berjudul
Parbung (Paribasa Nyambung), Ari Kpin memelopori pembuatan film
berjudul Alak Paul. Film tersebut digarap oleh ia bersama komunitasnya,
Jamuga, dengan merek produksi JamugaCinema. Berkat bakat dan segudang pengalamannya,
ia memiliki peran penting dalam pembuatan film Alak
Paul, yakni sebagai
sutradara, cameraman, film editor, dan pengalih bahasa. Sikapnya yang
santai dan ramah, membuat para kru dan pemain merasa nyaman dengannya. Seperti
dituturkan Dado Bima, pembawaan Ari Kpin yang santai membuat para pemain enjoy
dan gembira. Misalnya saja Diana Ratna Inten yang berperan sebagai Ceu Nining.
Awalnya wanita itu takut dengan air sungai yang deras, tetapi dalam pembuatan
film ini ia jadi tidak takut saat harus beradegan mencuci di sungai.
Film Alak Paul tayang di kanal YouTube Panggung Virtual hasil garapan Jamuga Cinema. Adapun pihak-pihak yang berkontribusi dalam terselenggaranya film Alak Paul antara lain Wa Ratno (produser), Mang Oephy, Agung S. Assiroj, dan Ari Kpin (cameraman), Dado Bima, Abah Zaenal, dan Wa Ratno (Script continuity), Rian, Apung, Dado Bima, dan Abah Zaenal (clappers), dan penata lain oleh tim Sabilulungan Jamuga. Selain itu, sebanyak 60% penduduk Desa Sukamurni, yakni desa tempat pembuatan film tersebut juga ikut andil, beberapa di antaranya berperan sebagai pemeran (aktor), yakni Lenny Noviani (Ambu), Qiyan Ayuni Mustari (Asih), dan Shela Salpa (Euis).
Film Alak
Paul mengisahkan seorang gadis bernama Euis yang dijodohkan oleh kedua
orang tuanya (Abah Zaenal dan Lenny Noviani) untuk menikah dengan seorang juragan
kaya raya bernama Juragan Jarot (Wa Ranto). Namun, Euis tidak ingin menikah
dengan lelaki tua pilihan orang tuanya. Maka, dia meminta adiknya, Asih (Qiyan
Ayuni Mustari) untuk menemui Kartaji (Apung S. Lukman). Euis sudah putus asa
dan akan ikut kemana pun Kartaji membawanya. Euis pun kabur dari rumah bersama
Kartaji sesaat sebelum Juragan Jarot datang melamarnya. Ternyata, Juragan Jarot
melihat mereka, lantas dia pun mengejarnya bersama dengan anak buahnya, Darman
(Rian).
Kisah
tersebut semakin panas ketika Bojeg Borejeg (Dado Bima), sang begal yang
bengal, mencegat Juragan Jarot saat hendak mengejar Euis dan Kartaji. Mereka
terlibat perkelahian. Juragan Jarot berusaha melindungi dirinya dengan tongkat
yang senantiasa membantunya berjalan sedangkan Bojeg menggunakan golok
tajamnya. Kemenangan pun diraih oleh Bojeg dan Juragan Jarot hanyut di dalam
derasnya air sungai.
Tidak
sampai di situ, meskipun Juragan Jarot sudah mati, Bojeg masih murka karena
Kartaji berani membawa Euis pujaan hatinya. Bojeg berteriak, “Diberik siah
Kartaji! Najan ka Alak Paul oge Kartaji!” (Aku kejar kamu, Kartaji! Walau
ke Alak Paul juga, Kartaji!). Pada akhir cerita, Asih menangis dalam
dekapan Ambu karena tidak bisa menghentikan kakaknya, Euis.
“Itu si Euceu rek dibawa ka Alak Paul” (Itu si Euceu (Euis) akan dibawa ke Alak Paul).
“Keun we atuh, anaking. Si Euceu sing panggihkeun kana kabagjaan” (Biarkan saja, Anakku. Semoga si Euceu (Euis) mendapatkan kebahagiaan).
“Naon Alak Paul teh, Abah?” (Alak Paul itu apa, Abah?).
“Tuh, Alak Paulteh itu! Hiji
patempatan anu moal kajorang ku jelema” (Itu Alak Paul (sambil menunjuk). Suatu tempat
yang tidak bisa dijangkau oleh manusia).
Pada akhir cerita tersebut,
dijelaskan makna dari Alak Paul, yakni sebuah tempat yang sangat jauh
sehingga tidak bisa dijangkau oleh manusia mana pun.
Dalam sebuah sesi wawancara
yang memanfaatkan media Zoom Meeting (25/11/21), Wa Ratno mengatakan bahwa
pembuatan film tersebut sesuai dengan visi misi Jamuga, yakni mencerdaskan,
melestarikan budaya, dan mengangkat potensi yang ada di desa (tempat pembuatan
film). Pribahasa dijadikan tema sebagai upaya melestarikan budaya berbahasa. Adapun
pemilihan Alak Paul sebagai topik dari film tersebut tidak memiliki
alasan khusus.
Cerita yang diangkat
mencerminkan kehidupan desa di tahun 80 sampai 90-an. Terlihat dari pakaian
para aktor yang masih sangat sederhana. Tema yang diangkat pun menunjukkan
tradisi dan sudut pandang orang-orang zaman dulu, yakni berpikir bahwa anak
gadis yang sudah berusia belasan tahun sudah pantas untuk dinikahkan, sekalipun
mereka tidak menginginkannya.
Pada awal cerita, beberapa
anak kecil berenang di sungai. Mereka tampak bahagia dan tanpa derita.
Aktivitas tersebut mencerminkan aktivitas anak-anak zaman dulu sangat
menyenangkan. Mandi di sungai bersama kawan-kawan adalah kegiatan yang
dinanti-nantikan. Tanpa peduli akan masuk angin atau tidak saat pulang ke
rumah.
Lantas, muncul seorang ibu
rumah tangga yang hendak mencuci pakaian. Tak lama kemudian wanita dengan
tujuan yang sama datang. Seperti kita ketahui bersama, apabila dua wanita sudah
bertemu, kemungkinan besar mereka akan terlibat dalam sebuah obrolan. Begitu
pun dengan perjumpaan Ceu Empat dan Ceu Nining. Mereka malah lebih fokus untuk
mengobrol dibanding menyelesaikan cuciannya. Obrolan itu menjadi penggerak
cerita perjodohan antara Euis dan Juragan Jarot.
Karena pembuatan film
menggunakan kamera ponsel, film ini menemui beberapa kekurangan, yakni suara
yang tidak stabil (ada yang tidak terdengar) dan pencahayaan yang tidak konstan
(sering redup dan kedip-kedip). Selain itu, terdapat beberapa aktor yang kurang
bisa mengondisikan ekspresinya. Seperti saat tokoh Ceu Empat dan Ceu Nining
sedang mencuci di sungai. Ceu Empat tampak kurang fokus dalam mencuci, sehingga
sangat terlihat pura-pura mencuci. Berbeda dengan tokoh Ceu Nining yang
meskipun mengobrol, tangannya tetap mengsosok-gosok kain yang dicucinya. Ada
pula tokoh Ambu saat menunggu Abah memanggilnya. Tokoh Ambu terlihat curi-curi
pandang pada kamera dan daun lalapan yang sedang dirapikannya. Meskipun
demikian, ada pula tokoh-tokoh yang tampak sangat menjiwai perannya, seperti
Bojeg Borejeg dan Juragan Jarot. Saat Bojeg sedang marah, suara yang
dikeluarkannya sangat bertenaga dan beraura murka. Begitu pun saat Juragan
Jarot marah. Aura kekejamannya tampak terasa saat dia memanggil anak buahnya,
Darman untuk mengejar Euis dan Kartaji.
Kekurangan dalam film Alak
Paul tidak sedikit pun mengurangi esensi dari film tersebut. Film Alak
Paul juga luar biasa karena hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk
membuatnya (satu hari peliputan dan dua hari editing). Setelah selesai
diedit, film ditonton bersama warga Kampung Sukamurni di Balai Desa Sukamurni
(dikutip dari desunda.com 8/10/21).
Pembuatan film berdasarkan pribahasa sangat patut diacungi jempol. Zaman sekarang, upaya untuk mengampanyekan pribahasa sangat beragam. Salah satu yang bisa ditempuh yakni lewat pembuatan film pendek seperti Alak Paul. Penyajian lewat film merupakan cara yang paling banyak diminati di zaman sekarang. Tentunya, jika banyak yang menikmati film pendek serupa, kehidupan sastra akan semakin jaya. Masyarakat tidak akan buta akan sastra dan sastra akan terus berkembang seiring masa. Ditambah dengan kondisi teknologi yang kian canggih, penyebarluasan karya sastra bagaimana pun rupanya, akan semakin mudah dan meluas hingga mampu dijangkau oleh berbagai kalangan.
Abrakadabra mantra sembuhkan lara
Musnah sudah luka yang dirasa
Melestarikan sastra punya banyak cara
Salah satunya berpribahasa
Analisis yang baik..👍
BalasHapus